ARAS PERADABAN PANUNGGALAN Pulau Jawa terletak di pertemuan lempeng bumi yang saling ’bertabrakan’. Dampak tabrakan tersebut memunculkan deretan gunung berapi di sepanjang pulau Jawa. Maka dengan demikian di bumi Jawa sering terjadi gempa bumi dan letusan gunung berapi. Disamping itu, pulau Jawa merupakan bagian gugus kepulauan Indonesia yang terletak di daerah tropis, bercurah hujan tinggi, serta menerima penuh sinar matahari dan benda angkasa lain sepanjang tahun. Keberadaan Jawa di daerah tropis, vulkanis, dan bagian gugus kepulauan (bahari) dengan sendirinya merupakan wilayah yang subur makmur dan kaya mineral, tetapi juga merupakan suatu wilayah bumi yang rentan adanya bencana alam. Kondisi alam yang demikian menjadikan Jawa memiliki nuansa spiritual yang berbeda dengan wilayah bumi lainnya. Dalam bawarasa ini, nuansa spiritual tersebut penyusun beri istilah ’geo spiritual’.
Pada setiap peradaban umat manusia terlahir falsafah hidupnya (Ngelmu Urip, jw.). Falsafah hidup merupakan hasil interaksi ’build-in spiritual’ (cipta rasa karsa, jw) dengan ’geo spiritual’ atau situasi dan kondisi alam habitat tempat komunitas manusia tersebut diciptakan dan mukim. Berdasar alur logika yang demikian, maka falsafah hidup Jawa merupakan hasil interaksi ’build-in spiritual Jawa’ dengan situasi dan kondisi (geo spiritual) alam semesta Jawa. Interaksi tersebut melahirkan pandangan Jawa yang dikenal dengan ’Falsafah Panunggalan’, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa semua yang ada dan tergelar di jagad semesta ini merupakan ’Kesatuan Tunggal”. Maksudnya, ada ’hubungan kosmis magis’ antar semua yang ada di jagad raya ini. Hubungan panunggalan dimaksud terbangun dalam struktur ’pancer-mancapat’ atau ’inti-plasma’ yang terjalin satu dengan yang lain bertingkat-tingkat dari unsur yang paling kecil (atom dan sel hidup) sampai seluruh alam semesta yang tidak terhingga luas dan besarnya. Semua manunggal dalam satu kesatuan.
Pada konteks panunggalan alam semesta, pancer atau ’inti’-nya disebut ’Kang Murbeng Dumadi’ (sebutan lain: Suksma Kawekas, Guruning Ngadadi, Sang Hyang Wisesa, Kang Maha Kuwasa) dan semua ciptaan posisinya sebagai ’mancapat’ (plasma). Penjelasan Jawa terhadap hubungan panunggalan dari ’semua yang ada’ diibaratkan sebagaimana hubungan jaringan sel-sel tubuh yang mewujud sebagai ’manungsa urip’ (manusia hidup).
Dalam ’kehayuan semesta’ disadari dan dimengerti oleh manusia Jawa ada ’dinamika pergerakan’ yang terus menerus tiada henti sebagai salah satu tanda ’urip’ (hidup). Demikianlah, maka pada dasarnya pergerakan alam semesta memang ada dan dinamis sejak awal terciptanya. Bahwa dampak dinamika pergerakan tersebut ada yang berupa ’bencana’ bagi kehidupan manusia juga sudah dipahami. Misalnya: pergerakan lempeng kulit bumi yang menimbulkan gempa, pergerakan angin oleh perbedaan suhu yang menimbulkan badai dan topan, pergerakan konsentrasi awan yang menimbulkan petir hujan dan banjir, pergerakan dinamis bulan yang menyebabkan pasang surut air laut, pergerakan atas dampak gerhana bulan dan matahari, dll.
Dari hasil olah ’cipta rasa karsa’ dan daya spiritualnya, Jawa memiliki pandangan bahwa ada tautan antara perilaku manusia dengan situasi alam semesta, dan sebaliknya. Hubungan spiritual timbal balik yang harmonis antara manusia dengan alam semesta diistilahkan dengan kalimat: jumbuhing jagad cilik (manusia) dengan jagad gedhe (alam semesta). Penjagaan hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta tersebut melahirkan upaya-upaya menata perilaku manusia untuk selalu ’jumbuh’ dengan dinamika semesta yang kendalinya ada pada Kang Murbeng Dumadi. Penataan perilaku manusia di ranah Jawa disebut ’piwulang kautamaning urip’. Suatu ajaran yang menekankan kebijaksanaan dan kesalehan menuju kepada berkeadabannya umat manusia.
Berdasar alur pemikiran sebagaimana disebutkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa Kawruh Kejawen sebagai ngelmu urip memiliki pijakan atau aras dasar 3 (tiga) perkara, yaitu: pijakan kesadaran ber-Tuhan, pijakan kesadaran kesemestaan, dan pijakan keberadaban umat manusia. Ketiga pijakan tersebut yang kemudian melahirkan budaya dan peradaban Jawa.
Ide ‘Panunggalan Semesta’ dengan struktur sistem ‘pancer-mancapat’ adalah ideologi Jawa. Ide sistem yang selalu mewarnai peradaban Jawa sejak jaman prasejarah hingga ke akhir jaman nanti. Ide panunggalan ini merupakan wacana penting guna menelisik peradaban Jawa yang pada umumnya dianggap sarat dengan misteri dan ’tidak logis’.
-----------
Artikel (bahasan) lebih lengkap terdapat dalam Buku Ngelmu Urip, tulisan Ki Sondong Mandali yang akan diterbitkan Yayasan Sekar Jagad (Desember 2010), pemesanan dapat dilakukan sejak sekarang ke e-mail
denggleng@yahoo.com.
Spesifikasi Buku:
Judul Buku : NGELMU URIP – ISBN 978-602-98012-0-0
Penulis : Ki Sondong Mandali (Ketua Yayasan Sekarjagad)
Penerbit : Yayasan Sekar Jagad – Semarang
Volume : 284 halaman
Kertas : HVS 70g
Harga : Rp 60,000 (termasuk ongkos kirim untuk Pulau Jawa)
Kandungan penting: Rasionalisasi Kejawen dengan 3 aras Kesadaran:
1. Kesadaran ber-Tuhan
2. Kesadaran kesemestaan
3. Kesadaran peradaban
Perkiraan terbit (beredar): Desember 2010.Pemesanan: via e-mail ke denggleng@yahoo.com, dengan menyantumkan alamat dan jumlah eksemplar yang dipesan.